Pada Hukum Perdata Apakah Keterangan Saksi Menjadi Prioritas Utama Dan Alat Bukti Utama?

IMG 20230317 WA0252

Dalam hukum perdata, salah satu alat bukti yang diakui adalah keterangan saksi. Keterangan saksi diatur pada pasal 164 HIR/284 RBg ditempatkan dalam urutan ketiga. Berbeda dengan hukum acara pidana yang menempatkan keterangan saksi ada pada urutan pertama. Hal ini berkaitan dengan jenis kebenaran yang akan dicari.

Dalam hukum perdata kebenaran yang dicari adalah kebenaran formil maka untuk memperolehnya alat bukti utama yang diperlukan adalah alat bukti surat, sementara itu dalam hukum pidana kebenaran yang dicari adalah kebenaran materil oleh karenanya alat bukti utama adalah keterangan saksi, yang melihat, mendengar dan merasakan sendiri.

BACA   JUGA  :

Gugatan Dianggap Kabur Apabila Mencampurkan Wanprestasi dan PMH

Prinsipnya dalam perkara perdata hakim hanya perlu memutus berdasarkan bukti yang cukup (preponderance of evidence). Alat bukti yang cukup dimaksud memiliki beberapa kualifikasi agar memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat.
Keterangan saksi misalnya, dalam HIR atau RBg pada prinsipnya tidak mengatur spesifik kriteria saksi. Namun, jika mengacu kepada ketentuan KUHAP maka saksi adalah yang melihat, mendengar dan merasakan sendiri.

Namun, pasa Putusan MK No. 65 PUU VIII 2010 telah ada perluasan defenisi saksi.

Dalam hukum perdata, praktiknya menunjukkan kecenderungan bahwa saksi haruslah ia yang mendengar, melihat dan/atau merasakan sendiri. Keterangan saksi yang diperoleh dari keterangan orang lain (testimonium de auditu) tidaklah dapat dipertimbangkan sebagai keterangan saksi yang memiliki nilai pembuktian.

BACA   JUGA :

Mengingkari Janji Menikah, Berpotensi Dikualifisir Sebagai Perbuatan Melawan Hukum

Hal ini sejalan dengan putusan Mahkamah Agung: Putusan Mahkamah Agung RI No.803 K/Sip/1970 tanggal 5 Mei 1971

“kesaksian para saksi yang didengarnya dari orang lain de auditu tidak perlu dipertimbangkan oleh Hakim, sehingga semua keterangan yang telah diberikan oleh para saksi de auditu tersebut, didalam persidangan bukan merupakan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Perdata”

Putusan Mahkamah Agung RI No. 547 K/Sip/1971 tanggal 15 Maret 1972

“saksi de auditu” di dalam persidangan perkara perdata di Pengadilan, bukan merupakan alat bukti sah, menurut hukum Acara Perdata.

Dari dua putusan diatas, jelas bahwa keterangan de auditu bukan merupakan alat bukti yang sah. Namun, terdapat putusan lain yang memberikan pertimbangan yang berbeda yaitu Putusan Mahkamah Agung RI No. 308 K/Sip/1959

“Kesaksian Testimonium de auditu tidak dapat digunakan sebagai bukti langsung, namun kesaksian ini dapat digunakan sebagai bukti persangkaan, yang dari persangkaan ini, dapat dibuktikan sesuatu hal/fakta”.

Jakarta, 24 Maret 2023

Penulis /Asuhan : M.O.Saut Hamonangan Turnip, S.H., C.T.C.L (Lawyer at T.S & Partners Law Contack
Contack Person : 0852-1972-3695

Editing : Bern/Redaksi