Perbedaan Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum (PMH)

png 20230421 074754 0000

A. Wanprestasi

Sederhananya, wanprestasi itu adalah ingkar janji atau tidak menepati janji. Menurut Abdul R Saliman (Saliman : 2004, hal. 15), wanprestasi adalah suatu sikap dimana seseorang tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur.

BACA JUGA :

Gugatan Dianggap Kabur Apabila Mencampurkan Wanprestasi dan PMH

Wanprestasi diatur dalam Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), berbunyi:
“Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan Ialai, tetap Ialai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan”.

Sehingga unsur-unsur wanprestasi adalah:

1. Ada perjanjian oleh para pihak;

2. Ada pihak melanggar atau tidak melaksakan isi perjanjian yang sudah disepakati;

3. Sudah dinyatakan lalai tapi tetap juga tidak mau melaksanakan isi perjanjian.

Contoh Putusan Mahkamah Agung Tentang wanprestasi sebagaimana Putusan No. 852 K/Sip/1972 tahun 1972.

B. Perbuatan Melawan Hukum ( PMH)

Menurut Munir Fuady (Fuady : 2002, hal. 3) Perbuatan Melawan Hukum adalah sebagai suatu kumpulan dari prinsip-prinsip hukum yang bertujuan untuk mengontrol atau mengatur perilaku bahaya, untuk memberikan tanggung jawab atas suatu kerugian yang terbit dari interaksi sosial, dan untuk menyediakan ganti rugi terhadap korban dengan suatu gugatan yang tepat.

PMH diatur dalam Pasal 1365 KUHPer, berbunyi

Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.

Contoh Putusan Mahkamah Agung tanggal 8 Pebruari 1986 Putusan Nomor 3191 K/Pdt/1984.

Kapan dan Keadaan Bagaimana Kreditur Dinyatakan Wanprestasi Dalam Sertifikat Jaminan Fidusia

Jaminan fidusia menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud sehubungan dengan hutang-piutang antara debitur dan kreditur.

Ketentuan Pasal 15 ayat (2) dan Penjelasannya serta Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia khususnya mengenai frasa cidera janji, frasa kekuatan eksekutorial serta frasa sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi.

Implikasi dari Putusan ini adalah dalam Sertifikat Jaminan Fidusia harus terdapat kesepakatan antara debitur dan kreditur atau setidaknya menurut dasar upaya hukum terkait kapan dan keadaan bagaimana Debitur dapat dinyatakan “cidera janji (wanprestasi)” sehingga Kreditur dapat melakukan eksekusi terhadap Objek Jaminan Fidusia.

Oleh karena itu, terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji dan debitur keberatan untuk menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, harus ditempuh segala mekanisme dan prosedur hukum yang sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap sebelum pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia oleh Kreditur.

Hal ini sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019, tanggal 6 Januari 2020.

Jakarta, 20 April 2023
Penulis /Asuhan : M.O.Saut Hamonangan Turnip, S.H., C.T.C.L (Pengacara di T.S & Partners Law Firm)
Contack Person : 0852-1972-3695

Editing : Bern/Redaksi